• Home
  • Contact

Sentimental Value

facebook google twitter instagram

Malam itu Julian tidak dapat tidur sama sekali. Memeluk gulingnya dengan erat, dan menangis. Memandangi sebuah foto berbingkai yang terpajang di atas meja dekat tempat tidurnya. Foto seorang pria yang terlihat sedang bahagia dengan setelan jas Stuart Hughes kesukaannya. Thomas, ayahnya.

Ia baru saja kehilangan ayahnya kemarin pagi.

Jam dinding menunjukkan jarumnya berhenti di 12. Menyadari adiknya yang sedang bersedih, Jesse beranjak dari tempat tidurnya dan menghampiri Julian. Berusaha menenangkan adiknya agar dapat tertidur dengan pulas. Mengingat pagi nanti Julian harus tetap pergi ke sekolah seperti biasanya.

"Aku rindu Thomas", ucap Julian. "Sudah jam 12, nanti pusing kalau kurang tidur", jawab Jesse sambil memeluknya. "Andai saja Tuhan memperbolehkan aku untuk bertemu dengannya satu kali lagi saja", lanjut Julian. Perlahan ia mulai menutup matanya hingga akhirnya ia pun tertidur.

...

Jesse bangun lebih pagi dari Julian. Menyiapkan roti selai dan susu untuk sarapan mereka berdua. Pagi itu terasa berbeda tanpa kehadiran Thomas yang biasanya membuat suasana ruang makan menjadi lebih hangat dengan tawanya yang khas, dan suara gemuruh grinder kopi miliknya yang selalu membuat mereka berteriak, "Ayah, berisik!".

Julian bangun dari tempat tidurnya, menyusul Jesse yang sudah duduk di meja makan. Menunggu adiknya untuk sarapan bersama. Hening. Tidak ada dialog hingga sarapan selesai. Lalu Julian pergi mandi, bersiap-siap menunggu bis sekolah datang menjemput. Sedangkan Jesse lekas membereskan meja makan dan menyimpan kembali stoples selai ke dalam lemari pendingin. Bis datang. Julian berangkat ke sekolah seperti hari-hari biasanya, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pelajar.

Tidak menyadari Senin ini akan berbeda dari hari-hari biasanya. Sambutan bela sungkawa dari teman-temannya cukup untuk menghangatkan hati Julian sesampainya ia di sekolah. Namun, di lain sisi Julian juga merasakan kesedihan yang mendalam. Seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan anak panah tepat di jantungnya. Seperti dipaksa kembali ke momen terakhir ia menyaksikan hembusan napas terakhir ayahnya kemarin lusa. Menerima kenyataan bahwa ia tidak akan mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah lagi. "Ini akan menjadi hari yang berat", ujar Julian dalam hatinya.

...

Jam 12 siang, bel sekolah berbunyi. Menandakan kegiatan belajar mengajar sudah selesai. Julian mengemas alat tulisnya ke dalam tas. Berjalan keluar kelas mencari bis sekolah yang akan mengantarkan ia ke rumahnya. Pulang.

Suatu kebiasaan lama yang selalu Jesse lakukan adalah menyambut kedatangan adiknya setiap ia tiba dari sekolah. Mengenakan berbagai busana atau kostum yang beragam tiap harinya. Tidak tentu. Batman, Moana, hingga berbusana layaknya seorang malaikat. Julian menatap ke luar jendela bis. Memerhatikan busana yang Jesse pakai siang itu.

Kaget. Ekspresi pertama Julian saat ia melihat kakaknya sedang mengenakan busana yang sangat tidak asing lagi baginya. Setelan jas Stuart Hughes, serupa dengan yang Thomas pakai. Berusaha mengobati kerinduan adiknya kepada sosok ayahnya. Julian keluar dari bis. Memeluk kakaknya dengan erat. Menangis.

"Jangan menangis lagi, kalau perlu aku akan memakai setelan jas seperti ini lagi setiap kamu pulang sekolah", tenang Jesse. Tidak ada jawaban. Lalu Julian tersenyum. Berterima kasih kepada kakaknya, telah berusaha menghibur dirinya kembali. "Ayo ke dalam, aku sudah siapkan steak", tegas Jesse.

Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Wangi. Tercium bau masakan. Bergegas menuju meja makan yang sudah Jesse siapkan. Dua piring steak, lengkap dengan mashed potato. Dan aroma saus balsamic yang mengundang. Makan.

Suasana ruang makan terasa kembali hangat dengan tawa mereka berdua. Dengan suara pisau dan garpu yang sibuk melaksanakan tugasnya. Memotong steak. Kemudian Julian memotong dialog dengan memberikan sebuah pertanyaan.

"Dari mana kamu mendapatkan jas itu?", tanya Julian. "Oh. Tadi pagi setelah kamu berangkat ke sekolah, aku juga berangkat pergi ke pemakaman ayah", jawab Julian sembari mengelap bibirnya dengan tisu.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
"What is the beginning of eternity, the end of time and space, the first of every end, and the last of every race?"

Selasa, 13 Juni 2017 adalah hari dimana sebagian orang berpikir bahwa hari itu adalah titik awal perjuangan mereka dalam mencapai kesuksesan. Mungkin hal ini nggak berlaku bagi gue. Iya, hari itu gue nggak berhasil tembus ke bangku PTN. Mental gue bobrok. Bahkan gue udah nggak tahu lagi apa yang harus gue lakukan selanjutnya.

Di titik inilah gue baru sadar kalau hasil nggak akan mungkin mengkhianati usaha. Iya, gue sadar kalau usaha yang gue keluarkan nggak sebanding dengan apa yang gue harapkan. Terlalu optimis terkadang memang salah. Apalagi takabur. Entahlah. Mungkin waktu itu gue nggak terlalu menganggap serius hal ini. Bukannya belajar, hanya layar smartphone yang gue lihat sehari-hari. Gue orangnya memang gampang terdistraksi. Bikin tulisan nggak jelas kayak gini pun butuh waktu beberapa hari untuk kemudian gue publish. Sekitar 29 hari tepatnya.

...

Putus asa bukanlah pilihan. Walaupun sempat ada perasaan seperti itu, setidaknya kita punya jalan lain untuk meredam segala pahit yang telah berlalu. It's about time. Tidak seharusnya kita berpikir bahwa kegagalan adalah akhir dari perjuangan kita selama ini. Ini hanyalah permulaan. Jika dianalogikan, momen ini bagaikan markah yang membatasi suatu halaman dalam buku novel. Kita nggak mungkin bisa memulai untuk membaca novel tersebut berawalkan markah yang sebelumnya telah kita buat, tanpa membaca seluruh bagian awal cerita. Kita nggak akan bisa memulai perjuangan kita dimulai dari titik ini, tanpa melewati segala pahit dan manisnya kehidupan terlebih dahulu.

It's time to move forward. Walaupun sampai detik ini gue masih nggak tahu harus berjalan ke arah yang mana. Mencoba lagi tahun depan? Kalau kata Chris Martin sih, "nobody said it was easy". Selain gampang terdistraksi, pada dasarnya gue ini orangnya memang malas. Kalau saja nanti gue memutuskan untuk ikut bimbingan belajar, pada akhirnya semua itu akan percuma kalau gue sendiri belum bisa menghilangkan sifat malas ini. Mimpi doang gede, effort nya nol besar. Ironi ya guys.

Permasalahan berikutnya adalah... gue orangnya kurang percaya diri. Walaupun menurut hasil test yang gue dapat dari 16personalities.com itu ENFJ ("the protagonist", baca saja sendiri ya di Google), pada kenyataannya gue bukanlah orang yang katanya full of passion and charisma. Mungkin gue termasuk orang yang cukup mudah untuk berkomunikasi dengan orang-orang asing di media sosial, tetapi lain lagi di kehidupan nyata. Kurangnya percaya diri ini membuat gue ragu untuk mendapatkan hati seseorang yang mampu mendorong kembali semangat gue yang saat ini tenggelam dalam kelam. Anjir. Muka udah jelek, dompet pipih. Gimana caranya gue bisa ngajak jalan Pevita Pearce kalau kayak gini ceritanya, pikir gue.

...

"What is the beginning of eternity, the end of time and space, the first of every end, and the last of every race?"

Di bagian awal, gue nulis kayak gini maksudnya apa? Gue dapet kalimat ini dari salah satu temen gue, by the way. Mari kita kaji lebih dalam lagi.

Sebagian orang mungkin akan membacanya dan kemudian mulai menerka apa maksud dan jawaban dari kalimat tersebut. Bahkan gue sendiri dengan cepatnya menjawab kalimat tersebut saat pertama kali membacanya, predestination paradox kata gue. Dia pun tertawa karena maksud dari kalimat tersebut tidaklah seperti yang gue bayangkan. Saat membacanya dari awal sampai akhir, mungkin kalian juga akan berpikiran bahwa kalimat tersebut adalah sebuah pertanyaan yang biasa saja. Coba lihat perbedaannya saat gue ubah sedikit kalimatnya.

"What is the beginning of 'eternity', the end of 'time' and 'space', the first of every 'end', and the last of every 'race'?"

Iya, jawabannya adalah "E". Huruf awal dari kata eternity, huruf akhir dari kata time dan space, huruf awal dari kata end, dan huruf akhir dari kata race.

The point is... setiap kalimat pasti memiliki awal dan akhir, namun kita tetap harus memperhatikan setiap tanda baca yang terdapat pada kalimat tersebut agar kita dapat mengerti apa maksud dan tujuan yang sebenarnya.

Sama seperti kehidupan kita, setiap kehidupan pasti memiliki awal dan akhir, namun kita juga harus menghargai segala nilai-nilai kecil yang terjadi di dalam kehidupan kita. Sentimental value.

Disaat kita memahami betapa berharganya nilai-nilai tersebut, kita akan mengerti bahwa pada akhirnya kita akan menemukan jawaban-jawaban yang kemudian bisa membawakan jalan untuk kita keluar dari situasi pahit yang mungkin saat ini sedang kita hadapi.

Walaupun saat ini gue gagal tembus ke bangku PTN dan masih saja jomblo, setidaknya gue harus menghargai setiap keputusan tersebut. Karena dengan ini gue akhirnya dapat memahami bahwa mungkin di titik inilah gue seharusnya berjuang untuk lebih keras lagi sehingga dapat meraih apa yang sudah gue harapkan sejak dulu. Meraih hati Pevita Pearce, tepatnya.

Jalan terus.

Iya, ini Lisa BLΛƆKPIИK. Biar manis aja gitu artikelnya, kayak doi.
Share
Tweet
Pin
Share
4 comments

About Me

About Me


Semua tulisan di blog ini diceritakan dengan sesadar-sadarnya. Berisi nilai-nilai kecil yang orang lain anggap biasa saja.

Follow Me

Subscribe

Popular Posts

  • Awal dan Akhir
    "What is the beginning of eternity, the end of time and space, the first of every end, and the last of every race?" Selasa, 1...
  • Izinkan Aku Bertemu Dengannya Satu Kali Lagi Saja
    Malam itu Julian tidak dapat tidur sama sekali. Memeluk gulingnya dengan erat, dan menangis. Memandangi sebuah foto berbingkai yang terp...

Archive

  • ▼  2020 (1)
    • ▼  January (1)
      • Izinkan Aku Bertemu Dengannya Satu Kali Lagi Saja
  • ►  2017 (1)
    • ►  July (1)
FOLLOW ME @INSTAGRAM

Created by BeautyTemplates | Redesigned by Dwi Syafaradis