Malam itu Julian tidak dapat tidur sama sekali. Memeluk gulingnya dengan erat, dan menangis. Memandangi sebuah foto berbingkai yang terpajang di atas meja dekat tempat tidurnya. Foto seorang pria yang terlihat sedang bahagia dengan setelan jas Stuart Hughes kesukaannya. Thomas, ayahnya.
Ia baru saja kehilangan ayahnya kemarin pagi.
Jam dinding menunjukkan jarumnya berhenti di 12. Menyadari adiknya yang sedang bersedih, Jesse beranjak dari tempat tidurnya dan menghampiri Julian. Berusaha menenangkan adiknya agar dapat tertidur dengan pulas. Mengingat pagi nanti Julian harus tetap pergi ke sekolah seperti biasanya.
"Aku rindu Thomas", ucap Julian. "Sudah jam 12, nanti pusing kalau kurang tidur", jawab Jesse sambil memeluknya. "Andai saja Tuhan memperbolehkan aku untuk bertemu dengannya satu kali lagi saja", lanjut Julian. Perlahan ia mulai menutup matanya hingga akhirnya ia pun tertidur.
...
Jesse bangun lebih pagi dari Julian. Menyiapkan roti selai dan susu untuk sarapan mereka berdua. Pagi itu terasa berbeda tanpa kehadiran Thomas yang biasanya membuat suasana ruang makan menjadi lebih hangat dengan tawanya yang khas, dan suara gemuruh grinder kopi miliknya yang selalu membuat mereka berteriak, "Ayah, berisik!".
Julian bangun dari tempat tidurnya, menyusul Jesse yang sudah duduk di meja makan. Menunggu adiknya untuk sarapan bersama. Hening. Tidak ada dialog hingga sarapan selesai. Lalu Julian pergi mandi, bersiap-siap menunggu bis sekolah datang menjemput. Sedangkan Jesse lekas membereskan meja makan dan menyimpan kembali stoples selai ke dalam lemari pendingin. Bis datang. Julian berangkat ke sekolah seperti hari-hari biasanya, melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pelajar.
Tidak menyadari Senin ini akan berbeda dari hari-hari biasanya. Sambutan bela sungkawa dari teman-temannya cukup untuk menghangatkan hati Julian sesampainya ia di sekolah. Namun, di lain sisi Julian juga merasakan kesedihan yang mendalam. Seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan anak panah tepat di jantungnya. Seperti dipaksa kembali ke momen terakhir ia menyaksikan hembusan napas terakhir ayahnya kemarin lusa. Menerima kenyataan bahwa ia tidak akan mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah lagi. "Ini akan menjadi hari yang berat", ujar Julian dalam hatinya.
...
Jam 12 siang, bel sekolah berbunyi. Menandakan kegiatan belajar mengajar sudah selesai. Julian mengemas alat tulisnya ke dalam tas. Berjalan keluar kelas mencari bis sekolah yang akan mengantarkan ia ke rumahnya. Pulang.
Suatu kebiasaan lama yang selalu Jesse lakukan adalah menyambut kedatangan adiknya setiap ia tiba dari sekolah. Mengenakan berbagai busana atau kostum yang beragam tiap harinya. Tidak tentu. Batman, Moana, hingga berbusana layaknya seorang malaikat. Julian menatap ke luar jendela bis. Memerhatikan busana yang Jesse pakai siang itu.
Kaget. Ekspresi pertama Julian saat ia melihat kakaknya sedang mengenakan busana yang sangat tidak asing lagi baginya. Setelan jas Stuart Hughes, serupa dengan yang Thomas pakai. Berusaha mengobati kerinduan adiknya kepada sosok ayahnya. Julian keluar dari bis. Memeluk kakaknya dengan erat. Menangis.
"Jangan menangis lagi, kalau perlu aku akan memakai setelan jas seperti ini lagi setiap kamu pulang sekolah", tenang Jesse. Tidak ada jawaban. Lalu Julian tersenyum. Berterima kasih kepada kakaknya, telah berusaha menghibur dirinya kembali. "Ayo ke dalam, aku sudah siapkan steak", tegas Jesse.
Mereka berdua berjalan masuk ke dalam rumah. Wangi. Tercium bau masakan. Bergegas menuju meja makan yang sudah Jesse siapkan. Dua piring steak, lengkap dengan mashed potato. Dan aroma saus balsamic yang mengundang. Makan.
Suasana ruang makan terasa kembali hangat dengan tawa mereka berdua. Dengan suara pisau dan garpu yang sibuk melaksanakan tugasnya. Memotong steak. Kemudian Julian memotong dialog dengan memberikan sebuah pertanyaan.
"Dari mana kamu mendapatkan jas itu?", tanya Julian. "Oh. Tadi pagi setelah kamu berangkat ke sekolah, aku juga berangkat pergi ke pemakaman ayah", jawab Julian sembari mengelap bibirnya dengan tisu.